Pilkades Serentak Versus Keadilan Hukum

Oleh : Andi Ibnu Hadi
(Ketua DPC Peradi Tasikmalaya)
Sebagaimana Hipotesis Desertasi Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum Indonesia bahwa “Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu” hal ini di dasarkan bahwa hukum adalah produk politik, sehinga konfigurasi politik sangat berpengaruh terhadap produk hukum. Dengan demikian jika konfigurasi politik demokratis maka akan melahirkan produk hukum yang resfonsif dan otonom, dan apabila konfigurasi politik otoriter maka akan melahirkan produk hukum yang ortodok, konservatif dan menindas. Hal mendasar dalam membangun konfigurasi politik yang demokratis diperlukan partisipasi politik warga Negara dalam perumusan perundang-undangn atau peraturan hukum, sehingga hukum tidak hanya milik legislative, eksekutif atau juga Aparat Penegak Hukum.
Ada beberapa fakta persoalan pada pelaksanaan Pilkades serentak Kabupaten Tasikmalaya seperti, money politik, perangkat desa menjadi timses, tidak adanya kepastian hukum dalam hal suara syah dan tidak syah, serta kebingungan dalam mencari perlindungan hukum bagi para pihak yang merasa dirugikan. Peraturan hukum yang ada terkait dengan sengketa Pilkades tidak secara tegas mengatur norma materil maupun formil tentang sanksi atas pelanggaran Pilkades. Seperti halnya dalam Pasal 41 ayat (7) PP 47 tahun 2015 yang menyatakan bahwa “Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan kepala Desa wajib diselesaikan oleh bupati dalam waktu 30 hari”, namun demikian tidak ada peraturan hukum yang mengatur tentang mekanisme/prosedur penyelesaian sengketa pilkades.
Dari Pasal tersebut penyelesaian sengketa pilkades merupakan hak prerogative seorang Bupati, tanpa adanya campur tangan atau bantuan dari pihak lain. Terkait dengan putusan dalam Peraturan Pemerintah tersebut terkesan penyelesaian hanya melegitimasi pemenang saja, adapun yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa hanya bersifat memediasi pihak bersengketa dengan tanpa merubah putusan panitia Pilkades.
Dengan demikian aturan hukum tentang perselisihan Pilkades tersebut rentan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), mengingat seorang Bupati dapat secara subjektif dalam memutuskan perselisihan Pilkades Mengacu pada Logika hukum bahwa sebuah sengketa tentu lahir dari pelanggaran, setiap pelanggaran hukum dikenakan sanksi hukum. Selanjutnya demi untuk memenuhi rasa keadilan setiap perbuatan yang dipandang melawan diberikan sanksi melalui proses hukum yang legitimit (Due Proses).
Melihat dari hal tersebut diperlukan aturan hukum yang mengatur tentang hukum materil dan formil tentang pelanggaran Pilkades. Saat ini norma sosial tentang pelanggaran Pilkades senyatanya telah hidup dan berkembang dimasyarakat, namun demikian norma ini tidak lantas menjadi prilaku budaya masyarakat desa, justru semakin lama semakin tergusur dengan kekuatan politik pemilik modal. Merumuskan norma sosial menjadi norma hukum menjadi sangat penting, mengingat hukum perlu kepastian, bukan sekedar cita-cita (ius constitutum), namun harus menjelma menjadi kenyataan (ius Constituendum).
Norma hukum pelanggaran pilkades dimaksud bersifat materil dan formil yang disesuaikan dengan tahapan Pilkades sebagaimana diatur dalam beberapa peraturan hukum. Hukum formil pelanggaran Pilkades seyogyanya dapat menjawab kekosongan hukum tentang mekanisme penyelesaian perselisihan Pilkades yang menyangkut tentang Legal Standing Para pihak, Pemeriksaan alat bukti, putusan, serta eksekusi. Seperti halnya dalam hal legal standing Para Pihak, Siapakah sebagai Penggugat?, siapakah yang menjadi tergugat?, atau pihak terkait, mungkin hal ini dapat sedikit mengadopsi hukum acara peradilan sengketa Pileg, Pilpres dan Pilkada di Mahkamah konstitusi. Lalu kemudian bentuk peraturan hukum apa yang tepat untuk mengisi kekosongan hukum tersebut? Merubah Undang-undang Desa? Merubah Peraturan Daerah? Atau membuat Perbup?. Di dasarkan atas teori penyusunan perundang-undangan dan peraturan Pemerintah tentang tata urutan peraturan perundang-undangan, kekosongan hukum tersebut lebih tepat diatasi dengan cara melakukan perubahan terhadap Peraturan Daerah tentang Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang saat ini belum secara detil mengatur tentang pelanggaran dan sanksi Pilkades.