Diskusi

Potret Kebebasan Beragama di Tasikmalaya Perspektif Hukum dan HAM

TASIKMALAYA – Di penghujung tahun 2019, DPC PERADI Tasikmalaya menyelenggarakan Refleksi akhir tahun, 28/12/2019 bertempat di Sekretariat Lakpesdam NU Kota Tasikmalaya, di Jl. Situ Gede, Linggajaya, Mangkubumi, Kota Tasikmalaya.

Acara dihadiri setidaknya 50 orang perwakilan tamu undangan dari organisasi bantuan hukum, paralegal desa, organisasi kemahasiswaan, dari lintas agama, diantaranya PBH Peradi Tasikmalaya, Serikat Petani Pasundan (SPP), Forum Bhineka Tunggal Ika (FBTI) Tasikmalaya, Fatayat NU, PMII, Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Wahidiyah Tasikmalaya, dan tamu undangan lain.

Dalam kalimat pengantarnya, Andi Ibnu Hadi selaku ketua DPC Peradi Tasikmalaya mengatakan bahwa acara ini terselenggara untuk mengevaluasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Tasikmalaya dalam perspektif Hukum dan HAM.

Hal ini dibuktikan masih adanya perlakuan diskriminatif dari pemerintah terhadap kelompok minoritas keagamaan, seperti pembangunan mesjid Ahmadiyah, peringatan Asyura, dan pertemuan atau raker Wahidiyah.

Acara bertema “Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Tasikmalaya dalam Perspektif Hukum dan HAM” ini, mendatangkan narasumber dari Jakatarub (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama) Yaitu Wawan Gunawan.

Wawan Gunawan mendefinisikan Intoleransi dengan analogi sederhana, misalnya begini, si A melakukan kenapa B tidak boleh, padahal si A sendiri melakukan hal yang tidak dilakukan B.

Intoleransi atau pelanggaran kebebasan beragama selama 10 tahun terakhir di Jawa Barat, diantaranya :
Pelarangan, penutupan dan pengrusakan tempat ibadah (gereja, Mesjid Ahmadiyah).

  1. Perizinan tempat ibadah dan fasilitas aktivitas keagamaan (gereja, pura, sekolah, dll)
  2. Penyesatan keyakinan keagamaan (Ahmadiyah, Syi’ah, Baha’i)
  3. Pelarangan aktivitas keagamaan (KKB, dll)
  4. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan daerah yang diskriminatif (inkonstitusional)
  5. Ujaran kebencian

Ia menegaskan bahwa peran negara dalam hal ini sangat diperlukan, karena internal pemerintah sendiri sudah terpengaruh.

” Kita hanya terus berjuang di lingkaran luar, maka mau tidak mau kita harus melibatkan pemerintah”, katanya.

Salah satu peserta, Yudi, dari Jemaah Ahlul Bait menanggapi, sekaligus memberikan pengalamannya diintimidasi oleh kelompok lain.

Menurutnya, mereka tidak bisa selamanya menampakan diri sebagai jema’ah ahlul bait. Dan apa yang dibicarakan narasumber, benar-benar dialaminya.

” Hal-hal yang pernah dialami misalnya perayaan Asyura sangat kesulitan dimana tempat yang aman untuk melaksanakan kegiatan itu. Kemudian stigma dari masyarakat, disebut kafir sudah menjadi sarapan sehari-hari”, tuturnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp Informasi