Artikel

Penyelesaian Dugaan Tindak Pidana Medis

Secara pidana, pada umumnya keluarga pasien menjerat dokter dan/atau rumah sakit dengan dugaan terjadi kelalaian medis, kesengajaan, dan perbuatan tidak menyenangkan, dengan Pasal 334, 335, 347, 359, dan 360 KUHP. Sedangkan gugatan perdatanya keluarga pasien menuduh dokter dan/atau rumah sakit telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365, 1366 KUH Perdata dan/atau melakukan wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata, dengan tuntutan ganti rugi materiil dan imatariil yang bervariasi, yaitu antara 10 – 100,65 miliar rupiah.

Berdasarkan temuan, hasil kajian, dan analisis yang penulis lakukan, dari ketujuh kasus tersebut dapat diselesaikan dengan cara:

Nonlitigasi, yaitu dengan menerapkan konsep pendekatan restorative justice melalui dialog dan musyawarah antarpara pihak yang terkait. Cara ini dipilih dan mampu menyelesaikan secara efektif dan efisien sebanyak 5 kasus (71, 43%);
Kuasilitigasi, yaitu dengan melibatkan pihak penegak hukum sebagaimana proses litigasi biasa, namun berakhir dengan perdamaian secara dialogis (nonlitigasi). Cara ini mampu menyelesaikan masalah sebanyak 1 kasus (14,29%); dan

Litigasi, yaitu menggunakan pendekatan hukum pidana murni. Cara ini mampu menyelesaikan sebanyak 1 kasus (14,28%).
Dengan kata lain, pendekatan restorative justice dipilih oleh sebagian besar para pihak, yaitu 6 dari 7 kasus (85,72% atau 86%) sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan dan mengakhiri perselisihan medis antara dokter dan rumah sakit (pada satu pihak) dan pasien dan/atau keluarga pasien (pada pihak lain). Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan restorative justice dalam penyelesaian perkara dugaan adanya tindak pidana medis, merupakan solusi yang dianggap paling bermanfaat, bermartabat, berkeadilan, dan lebih menguntungkan para pihak, baik bagi korban, pelaku, masyarakat, maupun negara, apabila dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur pengadilan (litigasi).

Bagi pasien dan/atau keluarga pasien selaku korban, penerapan sistem peradilan pidana umum untuk menyelesaikan perkara pidana medis selalu menyisakan masalah baru bagi bagi dirinya karena tidak pernah diikutsertakan dalam proses penyelesaian masalah dalam persidangan di pengadilan kecuali hanya didengar sebagai saksi; pemidanaan atau pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana sama sekali tidak memberi manfaat apa pun bagi korban dan/atau keluarga korban, karena faktanya banyak korban dan/atau keluarga korban pascapelaksanaan vonis hakim hidupnya semakin sulit atau berat, baik secara psikologis maupun secara ekonomis. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila penyelesaian perkara pidana medis dilakukan berdasarkan pendekatan restorative justice karena korban akan diberdayakan, diberi kompensasi secara moril dan materiil oleh pelaku tindak pidana, serta masing-masing pihak telah saling memaafkan.

Bagi dokter sebagai pelaku, penerapan sistem peradilan umum untuk menyelesaikan perkara pidana medis selalu menimbulkan masalah baru karena dokter harus menjalani proses hukum yang lama dan berbelit-belit yang menyita banyak waktu, tenaga, dan pikiran selama menjalani proses hokum, sehingga memecah konsentrasi dokter dalam menjalankan tugasnya. Hal itu mengakibatkan timbul rasa frustrasi karena tekanan psikologis selama menjalani proses hokum, apalagi jika proses hukum tersebut berakhir dengan vonis hukuman penjara, maka seorang dokter yang biasanya menjalankan profesi mulia dan terhormat (Officium Nobile) mendapat perlakuan tidak ubahnya dengan seorang pencuri atau pembunuh, sehingga timbul trauma psikologis yang serius. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila penyelesaian perkara pidana medis menggunakan pendekatan restorative justice karena putusannya berdasarkan hasil permusyawaratan dan permufakatan bersama.

Bagi masyarakat, penerapan hukum pidana konvensional untuk menyelesaikan perkara pidana medis tidak memberikan pemulihan kerusakan tatanan sosial di dalam masyarakat. Jatuhnya vonis hakim berupa pemidanaan atau pemenjaraan terbukti tidak memberikan efek jera, sehingga kasus demi kasus sejenis terus terjadi dari waktu ke waktu. Dalam hal penyelesaian perkara pidana medis tersebut dilakukan dengan pendekatan restorative justice maka kerusakan tatanan sosial tersebut dapat dengan mudah dipulihkan karena pelaku diberi tanggung jawab untuk melakukan social recovery.

Bagi negara, penerapan hukuman penjara berdasarkan vonis hakim dalam kasus tindak pidana, termasuk pidana medis, menambah beban keuangan yang sangat berat, yaitu terkait dengan terbatasnya ketersediaan gedung atau kapasitas ruang penjara (lapas), terbatasnya anggaran untuk menata kelola penjara (lapas), dan terbatasnya sumber daya manusia, baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal demikian itu dapat diatasi dengan penggunaan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana, karena negara tidak perlu menyediakan semua itu. Bahkan, di sejumlah negara yang telah melaksanakan pendekatan restorative justice penjaranya kosong dan dapat digunakan untuk kepentingan lain.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp Informasi