Penyelenggaraan PKPA Menurut Permenristekdikti No. 5 Tahun 2019
Oleh : Eki S. Baehaqi (Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Kajian DPC PERADI Tasikmalaya)
Syarat bagi seorang advokat adalah telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat. Namun, sejak awal tahun 2019 organisasi advokat termasuk PERADI, khususnya di daerah dibuat bingung setelah terbitnya peraturan mentri riset, teknologi dan pendidikan tinggi No. 5 tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat.
Pada awalnya pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) dijalankan oleh PERADI tanpa adanya keharusan bekerjsama dengan Perguruan Tinggi (Fakultas Hukum). Oleh karenanya dahulu PERADI dapat bekerjasama dengan Lembaga Pelatihan swasta tidak harus dengan PT, dengan mengacu pada peraturan PERADI No. 3 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat.
Namun kemudian, penyelenggaran PKPA terjadi dinamika kembali saat lahirnya Putusan MK No. 95/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Advokat yang diputus inkonstitusional bersyarat. Putusan MK itu hanya mengamanatkan penyelenggaraan PKPA dilakukan organisasi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi hukum atau sekolah tinggi hukum yang berakreditasi B.
Dari dinamika yang terjadi akhir-akhir ini pasca terbitnya permenristekdikti No.5 tahun 2019 setidaknya timbul beberapa pertanyaan mendasar yang masih menjadi polemic, antara lain: lembaga manakah yang sesunggunya memiliki kewenangan didalam penyelenggaraan profesi advokat ? lalu apakah penyelenggaraan PKPA tanpa mengacu pada Permenristekdikti No, 5 tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat sah menurut hukum?
Bahwa hingga saat ini terjadi perdebatan serta persepsi yang saling berlainan baik antara organisasi profesi advokat maupun pemerintah, khususnya kemenristekdikti. Sebaiknya polemic ini segera diakhiri dengan penyelesaian yang lebih elegan, cepat dan pasti. Apakah penyelenggaraan PKPA/ PPA itu harus mengacu pada permenristekdikti No. 5 tahun 2019 atau tidak.
Agar tidak muncul permasalahan ikutan lainnya, antara lain apakah calon advokat tersebut mendapatkan jaminan disumpah oleh Mahkamah Agung?.
Bila diamati, setidaknya, ada dua aturan yang menjadi acuan permeristekdikti 5/2019 tersebut yaitu Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Bila dilihat secara lebih bijak sesungguhnya tidak ada pertentangan antara permenristekdikti dengan UU Adovokat.
Perdebatan terjadi disaat sebagian orang menganngap bahwa keberadaan Permen tersebut bertentangan dengan UU Advokat. Memang didalam UU Advokat pasal 2 menyatakan :
⑴ Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
⑵ Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
⑶ Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
Namun pada sisi lain bila merujuk pada UU 12/2012 pasal 24 :
⑴ Program profesi merupakan pendidikan keahlian khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat dan kemampuan memperoleh kecakapan yang diperlukan dalam dunia kerja.
⑵ Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat ⑴ dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.
Sesungguhnya bila membandingkan kedua regulasi tersebut diatas tidak ada konflik kepentingan (conflict of interest). Sehingga dapat dimaknai bahwa sesungguhnya antara unsur perguruan tinggi dengan organisasi profesi advokat harus bersama-sama didalam menyelenggarakan PKPA/ PPA.
Kehadiran Permenristekdikti 5/2019 sebaiknya dimaknai secara positif dengan maksud untuk meningkatkan serta menjamin kualitas penyelenggaraan pendidikan profesi advokat. Sesungguhnya, hal demikian adalah sebuah kemajuan disaat sudah terlalu banyak organisasi profesi yang menyelenggarakan program pendidikan profesi tanpa standarisasi dan kontrol yang jelas, banyaknya advokat yang melanggar kode etik, profesi advokat yang dianggap sebagai keranjang sampah serta pretensi lainnya.
Bagaimanapun Permenristekdikti No.5/2019 sebagai hukum positif yang merupakan suatu peraturan kebijakan (beleidsregel) yang eksistensinya diakui dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Maka perubahan dan perkembangan regulasi terkait penyelenggaraan PKPA/ PPA sebetulnya merupakan fenomena yang sudah sangat biasa dihadapi dan kita selalu mampu beradaptasi dengan situasi seperti yang terjadi saat ini.
Sehingga dapat disimpulkan berdasarkan uraian diatas, apabila proses penyelenggaran PKPA/ PPA tidak mengacu pada permenristekdikti No. 5 tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat adalah tidak sah menurut hukum, sepanjang belum dibatalkan/ dinyatakan tidak berlaku. Oleh karenanya sekali lagi permasalah ini harus diselesaikan sesegara mungkin antar semua stakeholder utamanya Organisasi Advokat, Pemerintah dan Mahkamah Agung agar adanya kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.