Memahami Tindak Pidana Medis

Dalam perspektif hukum pidana, tindak pidana medis dipandang sebagai kejahatan yang merupakan masalah yang menjadi otoritas negara dan oleh karena itu hanya negara yang berhak menghukumnya, meskipun sebenarnya komunitas adat (artinya bukan hanya negara) juga bisa memberi sanksi pidana yang tidak kalah efektifnya.
Namun, karena otoritas negara diberi kewenangan untuk mengambil alih semua peran publik yang terkait dengan pemidanaan, maka hanya negara yang berwenang mewakili publik untuk menyelesaikan masalah hukum pidana. Diakui atau tidak, peran negara dalam kontes penyelesaian masalah hukum pidana acapkali tidak merepresentasikan kepentingan, keinginan, dan tuntutan kebutuhan para pihak, terutama korban dan pelaku. Sebab, dalam faktanya korban hampir selalu tidak mendapatkan porsi perhatian yang cukup memadai, kecuali hanya didengar keterangannya sebagai saksi (saksi korban).
Kesaksian korban tersebut pun oleh hakim – atas nama netralitas dan integritas hakim – tidak harus dirujuk sebagai pertimbangan utama dalam proses pengambilan putusan pengadilan. Itulah sebabnya sering terjadi antara putusan hakim dan kehendak korban merupakan dua hal yang berbeda yang seolah-olah tidak menunjukkan adanya korelasi. Karena itu pula pemenjaraan pelaku kejahatan sering dianggap sebagai pelampiasan kebencian, balas dendam, dan penistaan masyarakat yang dijalankan oleh negara. Ketidakseimbangan keadaan itulah yang melahirkan gagasan restorative justice sebagai alternatif yang lebih bermanfaat dan sesuai dengan rasa keadilan bagi korban, pelaku, masyarakat, dan negara secara bersama-sama.
Tidak seperti tindak pidana pada umumnya, tindak pidana medis memiliki karakteristik yang spesifik dan dalam beberapa hal kondisinya berbanding terbalik dengan tindak pidana biasa. Misalnya, kalau tindak pidana biasa yang dijadikan fokus perhatiannya adalah akibatnya (gevolg), namun pada tindak pidana medis yang dijadikan objek perhatian utamanya adalah sebabnya (causa). Sehingga, apapun yang dilakukan oleh seorang dokter, diukur dari sesuai atau tidaknya tindakan medis tersebut dengan ketentuan-ketentuan praktik kedokteran, yaitu: standar kompetensi medis, kewenangan medis, standar pelayanan medis, standar prosedur operasional, indikasi medis, informed consent, standar etika kedokteran, disiplin praktik kedokteran, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu, apa pun akibatnya, sepanjang tindakan medis yang dilakukan oleh dokter telah sesuai dengan ketentuan medis tersebut di atas, maka dokter tidak dapat dituntut secara hukum. Hal itu antara lain dibenarkan berdasarkan perjanjian terapeutik yang dibuat antara dokter dan pasien. Dalam perjanjian terapeutik yang dijadikan pedoman dan objek perjanjian atau yang diperjanjikan adalah “upaya yang sungguh-sungguh” oleh dokter untuk kesembuhan pasien (inspaning verbintenis), bukan hasil akhir (resultat verbintenis) berupa kesembuhan.
Dengan kata lain, apabila ada tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dan telah sesuai dengan ketentuaan yang berlaku sebagaimana tersebut di atas, namun berakibat buruk pada pasien, misalnya kondisi pasien semakin memburuk, pasien mengalami cacat fisik secara permanen, atau bahkan meninggal dunia, maka kondisi yang demikian itu termasuk kategori risiko medis, bukan malpraktik medis. Jadi, dalam konteks tindak pidana medis fokus utama pemeriksaan pidana terletak pada penyebabnya (tindakan medis yang dilakukan oleh dokter), bukan akibat yang terjadi pada diri pasien pascatindakan medis.
Dalam kasus tindak pidana biasa, hubungan antara sebab dan akibat dapat ditarik garis langsung. Artinya, antara sebab dan akibat memiliki hubungan kausalitas yang saling terkait atau memengaruhi. Hal itu tidak berlaku dalam kasus tindak pidana medis. Sebab, tindakan medis yang sama (sebagai penyebab) yang dilakukan oleh dokter kepada lebih dari satu pasien, akibat yang timbul atau dialami oleh masing-masing pasien bisa berbeda-beda. Perbedaan akibat yang dialami oleh pasien tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) kondisi atau tingkat keparahan penyakit yang diderita oleh pasien pada saat berobat; (2) kondisi daya tahan tubuh pasien; (3) ketersediaan peralatan kesehatan, fasilitas kesehatan, dan obat-obataan pada sarana kesehatan yang bersangkutan; (4) adanya penyakit lain yang timbul tidak dapat diperkirakan sebelumnya (risiko medis); dan (5) adanya penyakit lain yang tidak diketahui oleh pasien dan/atau dokter sebelumnya.
Tindak pidana medis (criminal malpractice) adalah tindakan medis yang memenuhi unsur pidana yang dilakukan oleh tenaga medis: 1. adanya perbuatan/tindakan medis yang bersifat melawan hukum; 2. dilakukan oleh tenaga medis yang mampu bertanggung jawab; 3. dilakukan dengan sengaja atau alpa; 4. tidak ada alasan pemaaf. Tindakan medis yang bersifat melawan hukum adalah tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan praktik kedokteran. Tenaga medis yang mampu bertanggung jawab adalah tenaga medis yang dalam menjalankan tugasnya dalam keadaan sadar, sehat jasmani-rohani, tidak dalam tekanan dari pihak manapun.
Adapun unsur sengaja (intentional), misalnya: melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan medis dalam kasus gawat darurat, membuat surat keterangaan tidak benar, membuat visum et repertum yang tidak benar, dan memberi keterangan yang tidak benar dalam siding pengadilan sebagai ahli. Sedangkan unsur alpa (culpa) adalah bentuk tindakan kurang hati-hati yang menyebabkan, misalnya: tertinggalnya peralatan medis di dalam tubuh pasien pada waktu melakukan tindakan operasi, pasien mengalami luka-luka, dan pasien cacat atau meninggal dunia.
Unsurculpa terdiri atas: culpa lata, yaitu tidak hati-hati, sembrono, atau kesalahan serius (gross fault); culpa levis, yaitu kelalaian atau kesalahan biasa (ordinary fault); dan culpa levissima, yaitu kelalaian atau kesalahan ringan (slight fault). Adapun unsur yang dapat meniadakan pidana (pemaaf) menurut J. Guwandi adalah faktor-faktor khusus yang tidak ditemui dalam hukum yang berlaku umum, misalnya kecelakaan medis (medical accident) atau risiko pengobatan (risk of treatment).