OpiniProbono

Bantuan Hukum Masyarakat Miskin Jauh Dari Harapan

Indonesia adalah negara hukum yang artinya bahwa hukum dijunjung tinggi di Indonesia. Sebagai negara hukum, Indonesia mengakui dan melindungi hak asasi setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya. Salah satu hak manusia yang harus diakui dan dilindungi adalah hak kesamaan kedudukan dihadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV, menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Bentuk tindakan Negara dalam menjamin persamaan kedudukan warganya dihadapan hukum adalah melalui layanan bantuan hukum Cuma-Cuma bagi masyarakat yang tidak mampu.

Bantuan hukum tentunya sangat lekat dengan dunia Advokat yang notabene adalah profesi yang memberikan jasa bantuan hukum. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat bahwa “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. Kemudian dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ditegaskan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Pemberian jasa bantuan hukum Cuma-Cuma bagi yang tidak mampu secara tekhnis dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan tata Cara pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.

Pada prinsifnya dalam Peraturan Pemerintah No. 83 tahun 2008 tentang pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma dapat disimpulkan bahwa advokat adalah sebagai pemberi sekaligus penyelenggara Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin tidak mendapatkan imbalan sesuatu apapun dari penerima bantuan hukum. Bahkan apabila seorang advokat menerima imbalan dari penerima bantuan hukum Cuma-Cuma dapat menerima Sanksi dalam bentuk administratif dari mulai teguran, pemberhentian praktek selama 3 sampai 12 bulan atau juga pemberhentian secara permanen.
Kedua peraturan hukum tersebut diatas kemudian dirasakan oleh berbagai pihak tidak cukup efektif menjawab persoalan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu, sehingga kemudian lahirlah Undang-undang No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang mengatur secara khusus tentang bantuan hukum. Sementara itu yang dimaksud dengan Bantuan hukum menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-Cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Berbeda dari perturan hukum sebelumnya tentang pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum dan advokat, sementara dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan hukum disebutkan bahwa pemberi bantuan hukum dapat berupa Lembaga bantuan hukum atau organisasi masyarakat.

Lagi-lagi Undang-undang Bantuan Hukum No. 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum beserta turunannya pun dipandang belum optimal dalam menyelesaian rendahnya bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan marginal. Terlebih Undang-undang tersebut terlalu rumit dalam mengimplementasikannya, ada beberapa persoalan efektivitas undang-undang tersebut, diantaranya adalah sistem verifikasi pemberi bantuan hukum, jumlah advokat yang tidak merata disetiap daerah, hanya sebagian kecil saja advokat yang bersedia mengerjakan perkara bantuan hukum.Implementasi pemberian bantuan hukum mengalami berbagai permasalahan/kendala antara lain: kendala regulasi, profesionalisme aparat, dan pemahaman masyarakat dalam mengakses bantuan hukum.

Permasalahan untuk mendapatkan keadilan meskipun terbatas pada bantuan hukum, sebenarnya adalah masalah yang tidak mudah diuraikan. Pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia sejak dulu hingga kini masih bersifat “tradisional dan individual”. Jau-jauh hari Todung Mulya Lubis mengkritisi bentuk bantuan hukum di Indonesia masih bersifat tradisional dan individual memiliki sejumlah kelemahan diantaranya adalah:

  1. Bantuan hukum yang bersifat tradisional dan individual hanya bersifat “mengobati” tetapi tidak mencari dan menyembuhkan penyebab penyakit tersebut dimana masyarakat sebelumnya telah diasingkan dari hak-haknya sendiri.
  2. Sistem hukum yang ada masih menunjang bentuk-bentuk bantuan hukum tradisional dan individual, dimana proses penyelesaian hukum masih berkisar pada pengadilan dan proses beracara yang ada didalamnya
  3. Bersifat kekotaan, karena para ahli hukum yang menyediakan layanan bantuan hukum ada di perkotaan dan tidak mudah dijangkau oleh masyarakat perdesaan dan wilayahwilayah yang sulit dijangkau.
  4. Sifatnya pasif, menunggu masyarakat miskin menyadari hak-haknya dan mengklaimnya.
  5. Terlalu terikat pendekatan-pendekatan hukum, bukan bagaimana membantu penyelesaian secara cepat atau mengatasi konflik.
  6. Masih berjalan sendiri, tidak bekerjasama dengan organisasi bantuan hukum, padahal organisasi bantuan hukum dianggap paling cepat menyelesaikan konflik.
  7. Belum mengarah pada terciptanya gerakan sosial, dimana gerakan bantuan hukum dikaitkan dengan power resources sehingga posisi masyarakat akan lebih kuat dan mempercepat penyelesaian konflik pusat pinggiran .

Untuk menjawab berbagai persoalan Bantuan hukum tersebut diatas tidak hanya sekedar dapat diselesaikan dengan berbagai kebijakan pemerintah melalui sejumlah peraturan hukum. Dari segi regulari, bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan marginal dalam dua decade sudah membaik, namun demikian dalam implementasi tetap tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini disebabkan pembentukan sejumlah peraturan hukum tidak sejalan dengan lagu perkembangan budaya masyarakat, sehingga hukum tidak mewakili rasa keadilan masyarakat.

(AIH)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp Informasi