ARAH POLITIK PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

- Pendahuluan
Hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan hukum warisan penjajahan Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia. Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dimana merupakan penegasan negara Indonesia untuk memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 sebagai hukum pidana yang berlaku di Indonesia.
Sebagai sebuah hukum warisan pemerintah kolonial Belanda, hukum pidana yang berlaku saat ini dirasa tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Hukum pidana yang berlaku saat ini dirasa perlu diperbaharui atau dalam konteks ini pembaharuan hukum pidana menjadi sangat urgen, yaitu sebagai upaya untuk menyelaraskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat ke dalam hukum pidana Indonesia.
Urgensi pembaharuan hukum pidana Indonesia juga telah dikemukakan oleh Sudarto, yang mengemukakan adanya tiga alasan penting dalam rangka penyusunan hukum nasional, yaitu:
- Alasan Politis
Adalah wajar bahwa Indonesia sebagai negara merdeka mempunyai hukum (pidana) yang bersifat nasional, yang didasarkan pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
- Alasan Sosiologis
Urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum pidana) nasional didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hukum nasional haruslah mencerminkan kultur masyarakat Indonesia.
- Alasan Praktis
Alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu harus dapat dipahami oleh masyarakatnya sendiri. Alasan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesia secara resmi menggunakan Bahasa Belanda, sementara dalam perkembangannya sangat sedikit masyarakat (termasuk para penegak hukum) yang mempunyai kemampuan berbahasa Belanda.[1]
Sangat disadari bahwa hukum pidana yang sekarang ini berlaku di Indonesia sudah tidak dapat menampung aspirasi masyarakat yang berkembang sangat dinamis serta tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Pembaharuan hukum pidana dalam rangka menciptakan sistem hukum pidana nasional menjadi sangat urgen dan mendesak untuk dikedepankan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dengan ini penulis akan membuat suatu paper dengan topik pembahasan “Arah Politik Pembaharuan Hukum Indonesia”. Berdasarkan topik Pembahasan tersebut rumusan masalah dalam paper ini adalah Bagaimana arah politik pembaharuan hukum Indonesia yang seiring sejalan dengan perkembangan masyarakat dalam era globalisasi dan dunia digital?
- Pembahasan
Pembaharuan hukum Indonesia khususnya hukum pidana dirasa perlu mengingat sejarah sistem hukum pidana Indonesia menganut sistem hukum barat yang tentu berbeda apabila ditinjau dari perspektif tujuan hukum barat dan timur. Indonesia sebagai negara timur harusnya menggunakan cara berhukum yang memiliki nuansa kultur ketimuran. Achmad Ali mengemukakan bahwa tujuan hukum menurut bangsa timur/asia atau bisa disebut sebagai teori tujuan hukum timur, yang tidak menempatkan mengenai “kepastian”, melainkan lebih menekankan pada prinsif : keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian.[2] Prinsip keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Acmad Ali tersebut dipandang oleh penulis selaras pula dengan prinsip keadilan menurut falsafah Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia yang menuntut adanya keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, bangsa, dan negara.[3]
Menyikapi kondisi hukum Indonesia yang masih berkultur barat akibat berlakunya asas korkondansi negara belanda kepada bangsa jajahannya, diperlukan pembaharuan hukum dalam kaitannya dengan hukum yang asli Indonesia. Menurut Sudarto pembaharuan hukum, khususnya hukum pidana dirasa memiliki tingkat urgensi yang tinggi karena menyangkut tiga hal pertama, alasan politik yaitu suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional, demi kebanggan nasional. Kedua, alasan sosiologis merupakan alasan yang menghendaki hukum mencerminkan kebudayaan dari suatu bangsa. Ketiga, alasan praktis menginginkan hukum yang berlaku di suatu negara merupakan hukum dengan bahasa asli negara tersebut, bukan terjemahan dari hukum itu berasal.[4]
Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari pembaharuan hukum secara luas. Menurut Barda Nawawi Arief pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya rasional mengefektifkan penegakan hukum melalui memerbaiki legal substance, upaya rasionalmenanggulangi kejahatan (perbuatan jahat baik oleh undang-undang maupun oleh masyarakat), upaya rasional mengatasi permasalahan-permasalahan sosial yang dapat diselesaikan melalui hukum.[5] Pembaharuan hukum pidana menurut penulis dapat diartikan sebagai politik hukum dalam arti post factum atau politik hukum dilaksanakan ketika telah terjadi situasi-situasi kongkrit dalam masyarakat. Lebih lanjut Sunaryati Hartono mengatakan bahwa politik hukum tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang terdapat disuatu negara.[6]
Sudarto memberikan pendapat mengenai kebijakan hukum pidana kaitannya dengan kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) Harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yang data mewuudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila; dan (2) Perbuatan yang akan dilarang oleh hukum piana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat.[7] Bertolak dari tujuan nasional dari Sudarto, Barda Nawawi Arief berpendapat pembaharuan hukum pidana harus ditunjukkan kepada: (1) Perlindungan masyarakat dari perbuatan/tindakan asocial yang merugikan dan membahayakan; (2) Perbaikan pelaku perbuatan/tindakan asocial sebagai bentuk perlindungan masyarakat dari sifat berbahaya; dan (3) Penegakan hukum yang menyelesaikan konflik dengan cara memulihkan keseimbangan yang hilang akibat tindak pidana.[8]
Pembaharuan hukum pidana sebagaimana disebutkan diatas berkaitan dengan kriminalisasi yang mana berkaitan dengan perbuatan yang melawan hukum. Suatu perbuatan melawan hukum dalam ranah hukum pidana harusnya sudah final yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hukum tertulis sebagai konsekuensi berlakunya prinsip lex certa hal ini dapat diartikan sebagai sifat melawan hukum formil.[9] Namun dalam doktrin dikenal melawan hukum materil yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan atau nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.[10] Melawan hukum formil dan materil terkadang bertentangan akibat dari tidak komperhensifnya undang-undang. Sebagai contoh overspel pasangan muda-mudi yang tidak dalam ikatan perkawinan dianggap bukan perbuatan melawan hukum secara formil, namun secara melawan hukum materil adalah perbuatan yang tidak patut karena masyarakat mengutuknya.
Arah pembaharuan hukum pidana Indonesia berada pada posisi bagaimana mengakomodir hukum yang hidup dalam masyarakat kedalam hukum positif dalam bingkai tujuan nasional yang berkiblat kepada pancasila sekaligus alternatif yang bisa digunakan untuk menyikapi pluralism (kemajemukan) hukum di Indonesia agar dapat menghindari pertentangan antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Mengakomodir hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan upaya peninjauan kembali sejumlah larangan-larangan yang sifatnya amoral akan tetapi tidak diatur dalam hukum positif. Kebijakan meningkatkan perbuatan amoral sebagaia perbuatan pidana menurut Devlin, moralitas merupakan cerminan eksistensi masyarakat. pengendalian tindakan amoral oleh hukum dapat dibenarkan, sehingga kriminalisasi didasarkan kepada perbuatan yang dianggap amoral dapat dibenarkan.[11] Sejalan dengan pendapat dari Devlin menurut Sudarto pembaharuan hukum pidana Indonesia saat ini diarahkan kepada re-orientasi pokok-pokok pikiran, ide-ide dasar, atau nilai sosio-filosofis, sosio-kultural dan sosio-politik hukum pidana Indonesia sesuai dengan tujuan nasional yang bersemayam dalam ideologi bangsa.[12]
- Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan yang telah penulis sampaikan pada bagian terdahulu adalah bahwa pembaharuan hukum pidana adalah sebuah keniscayaan. Hal ini didasarkan pada kenyataan sejarah hukum pidana yang berlaku saat ini adalah produk kolonial belanda dan berdasarkan asas konkordasi. Sebagai negara Merdeka tentunya Indonesia harus memiliki hukum Pidana nasional yang mencerminnkan moralitas hidup bangsa yang didasarkan pada pokok-pokok pikiran, ide-ide dasar atau sosio-filosopis bangsa Indonesia yang telah termaktub dalam Pancasila. Dengan demikian arah politik hukum Pidana Indonesia adalah mengembalikan pokok-pokok ide gagasan hukum pidana adalah kesejahteraan masyarakat yang berdasarkan pada filosopi hidup bangsa yaitu Pancasila.
- Daftar Pustaka
J E Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan, Berencana Rajawali, Jakarta.
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta.
Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Jakarta.
Syamsul Fatoni, 2016, Pembaharuan Sistem Pemidanaan: Perspektif Teoritis Dan Pragmatis Untuk Keadilan, Stara Press, Jakarta.
[1] Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h. 95
[2] Achmad Ali, Teori Hukum Dan Teori Peradilan (Jakarta: Prenada Media Group, 2009).
[3] J E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana
(Rajawali, 1982).
[4] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat (Jakarta: Alumni, 1985)
[5] Fatoni, Pembaharuan Sistem Pemidanaan: Perspektif Teoritis Dan Pragmatis Untuk Keadilan.
[6] Barda Nawawi Arief and Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Citra Aditya
Bakti, 1996)
[7] Arif dan Arif
[8] Fatoni, Pembaharuan Sistem Pemidanaan: Perspektif Teoritis Dan Pragmatis Untuk Keadilan
[9] Ibid.
[10] Eddy O S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Cahaya Atma Pustaka, 2016)
[11] Ibid
[12] Fatoni, Pembaharuan Sistem Pemidanaan: Perspektif Teoritis Dan Pragmatis Untuk Keadilan






Informasi