ADVOKAT SUBORDINAT DARI KEKUASAAN HAKIM (Telaah Kritis Kondisi Peradilan di Tasikmalaya)
Lembaga peradilan adalah tempat dimana masyarakat menemukan keadilan. Semua perkara yang diselesaikan melalui jalur peradilan (litigasi) sangat ditentukan oleh peran hakim didalamnya. Hakim merupakan salah satu aktor penting dalam proses peradilan. Proses peradilan oleh lembaga independen melalui peran hakim didalamnya merupakan sebuah konsekuensi logis dari prinsip negara hukum.
Tujuan akhir dari negara hukum sesungguhnya adalah terciptanya kesejahteraan sosial sesuai dengan cita negara kesejahteraan (welfare state). Namun negara hukum yang diharapkan tidak hanya sebatas konsep serta cita-cita belaka. Bagaimanapun konsep dan cita-cita tersebut harus terejawantahkan dalam kehidupan secara nyata. Tentunya, semua itu memerlukan sebuah proses serta instrumen dalam mewujudkannya. Sesungguhnya dalam mewujudkan mimpi negara hukum mensyaratkan adanya beberapa instrumen antara lain, peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary), perlindungan hak asasi manusia, legalitas, terwujudnya persamaan dihadapan hukum dan sebagainya. Khusus dalam lingkup peradilan, dalam menjalankan tugas judisialnya baik peradilan maupun hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).[1]
Pada suatu negara hukum proses peradilan itu dijalankan oleh suatu lembaga peradilan yang bersifat independen serta tunduk pada prinsip kekuasaan kehakiman sebagaimana Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman :
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”[2]
Begitu mulianya tujuan penyelenggaraan peradilan, pada sisi lain disertai dengan luasnya peranan hakim dalam mengadili perkara-perkara hukum yang timbul di pengadilan. Oleh sebab itu maka penting kiranya merefleksikan sejauhmana pembatasan wewenang hakim didalam mengadili perkara, agar cita keadilan bagi semua benar-benar terwujud (justice for all). Karena kadangkala pada saat-saat tertentu proses peradilan itu menjadi tidak objektif. Hal demikian dapat dilihat dari beberapa gejala empiris, antara lain :
- Inkonsistensi hakim dalam menerapkan peraturan perundang-undangan dan hukum yang berlaku baik dalam konteks materil maupun formil.
- Subjektifitas hakim yang berlebih terhadap pihak yang berperkara yang memengaruhi putusan.
- Pelemahan posisi tawar (bargaining position) terhadap advokat sehingga menciptakan ketidaksetaraan kedudukan dalam praktik peradilan.
[1] Hermawan Estu Bagidjo, Negara Hukum & Mahkamah Konstitusi, LeksBang Grafika, Yogyakarta, 2014, hlm.48.
[2] Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Apa persoalan utamanya ?
Sesungguhnya apa yang menjadi akar masalah sehingga gejala-gejala tersebut diatas terjadi. Hakim memiliki peran yang sangat menentukan dalam mengambil sebuah putusan. Dominasi hakim dalam proses peradilan menjadi sangat kentara, karena dengan keyakinannya hakim dapat memutus sebuah perkara hukum. Sungguhpun hakim dalam proses pembuktian digantungkan pada keyakinannya, akan tetapi keyakinan tersebut tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada alat bukti yang cukup. Sehingga timbul kekhawatiran dengan instrumen “keyakinan hakim” yang dimilikinya tersebut dapat melahirkan subjektifitas berlebih yang berpotensi pada tindakan kesewenang-wenangan hakim dalam mengadili dan memutus sebuah perkara hukum.
Terkait inkonsistensi hakim dalam menerapkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku membuat sebagian para praktisi hukum menjadi tidak cukup yakin bahwa lembaga peradilan (saat ini) dapat benar-benar menjadi salah satu instrumen dalam mewujudkan mimpi negara hukum yang berkeadilan. Padahal ciri negara hukum adalah law must be fairly and consistenly applied, [1] artinya bahwa hukum harus diterapkan secara adil dan konsisten tanpa memandang perbedaan ras, warna kulit, suku, agama, jenis kelamin, atau keyakinan politik atau perbedaan-perbedaan lain yang tidak masuk akal.
Pada sisi lain hakim diberikan kemandirian dalam menangani perkara, namun kemandirian tersebut tidak menjadi disalah-artikan bahwa hakim dapat secara bebas dan “asal suka” didalam menafsirkan maupun menerapkan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian tidak boleh melahirkan kesewenang-wenangan hakim dalam menerapkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang pada akhirnya berdampak pada integritas dan kualitas penegakan hukum. Padahal mimpi kita adalah membangun penegakan hukum yang kredibel dan bermartabat.
Pada prinsipnya para penegak hukum baik hakim, jaksa, polisi termasuk advokat, sesungguhnya memiliki kepentingan yang sama dalam mewujudkan cita-cita peradilan tersebut. Namun pada praktiknya nuansa peradilan belum terbangun secara fair, seringkali kedudukan advokat pada khususnya seolah dipaksa berada pada posisi “subordinasi” dari kekuasaan hakim. Advokat menjadi seolah tak berdaya untuk “mengoreksi” hakim karena khawatir berdampak pada perkara yang sedang ditanganinya, namun pada sisi lain hakim menjadi sangat dominan. Ironisnya disaat ada advokat yang kritis untuk mencoba meluruskan hukum dianggap melawan dan berprilaku tidak sopan (contempt of court). Keadaan demikian menjadi tidak seimbang, padahal hadirnya advokat salah satu semangatnya adalah untuk memerankan fungsi check and balances dalam sistem peradilan agar tujuan menegakan hukum dan keadilan dapat benar-benar terwujud.
Fenomena ini memang cukup klasik akan tetapi iklim penegakan hukum tersebut nampaknya masih tetap sama hingga saat ini, belum nampak ada perubahan yang signifikan. Namun hari demi hari dinamika atau perkembangan peradilan di Indonesia sekecil apapun, sebaiknya selalu dijadikan momentum bagi pagi para institusi penegak hukum, termasuk dikalangan hakim dan advokat melalui institusi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), untuk dapat duduk bersama serta dituntut untuk terus berfikir, dari mana memulai dan dengan cara apa kita membenahinya. Agar status quo ini tidak terus berlanjut yang akan diwariskan kepada advokat selanjutnya dari generasi ke generasi. Hal demikian semata-mata dalam rangka membangun praktik penegakan hukum yang betul-betul dapat mengarah pada profesionalitas, kredibilitas, integritas dan kualitas penegakan hukum di Indonesia. Yang jelas perubahan itu hanya dapat diwujudkan oleh individu-individu yang berdedikasi (Martin Luther King, Jr.)
Tasikmalaya, 02 Mei 2018
Oleh : Eki Sirojul Baehaqi, S.H., M.H.
Penulis adalah Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Kajian DPC PERADI Tasikmalaya