Advokat Dikecualikan Memiliki SIKM

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akhirnya mengecualikan advokat dalam kepemilikan Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) di wilayah DKI Jakarta. Dalam surat bernomor 4876/-072.2 tanggal 8 Juni 2020, surat yang ditandatangani Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemprov DKI Jakarta Benni Aguscandra itu ada tambahan pengecualian kepemilikan SIKM termasuk profesi advokat.
Dalam surat tersebut tertulis pengecualian kepemilikan SIKM mencakup semua unsur yang berada di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan pada poin kedua, pengecualian tersebut juga meliputi unsur advokat.
“Pengecualian kepemilikan SIKM sebagaimana dimaksud di atas juga mencakup advokat, yang merupakan mitra penegakan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi,” bunyi kutipan surat itu. Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta Yayan Yuhanah memberikan konfirmasi atas surat tersebut. “Sesuai dengan surat tersebut (advokat) termasuk yang dikecualikan,” ujar Yayan kepada Hukumonline.
Sebelumnya Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan keputusan terkait siapa saja yang bisa dikecualikan tidak memiliki Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) di wilayah Ibukota Negara ini. Dari salinan surat keputusan Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta ada tiga kategori yang dikecualikan soal kepemilikan SIKM ini.
Pertama Hakim, jaksa, dan penyelidik/penyidik/penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjalankan tugas sebagai penegakan hukum. Kedua Pengawas pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menjalankan tugas pengawasan intern pemerintah dan ketiga Pemeriksa keuangan pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjalankan tugas pemeriksaan pengelolaan keuangan negara.
Keputusan ini menuai protes sejumlah advokat baik secara pribadi maupun organisasi, bahkan Peradi DPC Jakarta Pusat mengirimkan surat keberatan kepada Pemprov DKI Jakarta. Dalam surat nomor 046/PERADI-JAKPUS/K/2020, mereka beranggapan status profesi Advokat sebagai penegak hukum yang bebas, mandiri, dan dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan teIah dilindungi melalui pengaturan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), maka pengecualian kepemilikan SIKM juga selayaknya diberikan kepada profesi Advokat.
Hal ini menjadi penting, sebab profesi Advokat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Advokat memiliki wilayah kerja yang meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Kondisi demikian seringkali menuntut Advokat harus bepergian dari satu daerah ke daerah Iainnya untuk menjalankan tugas penegakan hukum yang diberikan oleh UU Advokat, hal mana akan sangat terhambat jika harus dilakukan dengan kewajiban pemilikan SIKM yang proses penerbitannya memakan waktu.
“Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi DKI Jakarta juga perlu untuk lebih mempertimbangkan aspek keadilan. Misalnya saja dalam konteks perkara pidana, di mana Pasal 54, 55, dan 57 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa seorang Tersangka atau Terdakwa memiliki hak untuk didampingi Penasihat Hukum dalam setiap tahap pemeriksaan yang dihadapinya. Tentunya pemenuhan hak ini bisa terhambat apabila Penasihat Hukum yang berlatar belakang Advokat harus terkendala alasan ‘administratif pengurusan SIKM, hal mana tidak perlu dihadapi oleh penegak hukum lainnya,” bunyi surat tersebut.
Terlebih lagi, situasi pandemi COVID-19 tidak menjadikan operasi institusi peradilan tutup/dihentikan. Mahkamah Agung melalui SEMA No. 1 Tahun 2020 jo. SEMA No. 5 Tahun 2020 tetap menginstruksikan institusi peradilan yang berada di bawah naungannya untuk tetap beroperasi normal di tengah situasi pandemi COVID-19 dengan penyesuaian sistem kerja tertentu. Artinya, sama seperti hakim, jaksa, penyelidik/penyidik/penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Advokat juga dituntut untuk menghadiri persidangan yang dilaksanakan oleh institusi peradilan di tengah situasi pandemi COVID-19 ini.
Dengan demikian, agar tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, maka kami meminta agar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi DKI Jakarta memahami kondisi pelaksanaan profesi Advokat dan mengubah kebijakannya sehingga profesi Advokat, sama seperti penegak hukum lainnya, mendapatkan pengecualian kepemilikan SIKM untuk melakukan kegiatan keluar/masuk Provinsi DKI Jakarta sepanjang yang bersangkutan menjalankan tugas penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, advokat senior Stefanus Haryanto dalam akun media sosial yang telah dikonfirmasi Hukumonline menulis surat keputusan tersebut merupakan tindakan diskriminatif terhadap profesi advokat. Oleh karena itu ia berharap (DPN) Peradi harus memprotes keras putusan ini. “Peradi harus protes keras karena advokat sebagai salah satu penegak hukum diperlakukan diskriminatif oleh Pemda DKI. Advokat juga harus menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum sehingga harus diperlakukan sama dengan penegak hukum lainnya,” tulis Stefanus.
Juniver Girsang, Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (PERADI SAI) mengatakan pihaknya telah membahas hal ini dalam rapat internal. Ia juga memprotes keras surat keputusan Pemprov DKI yang tidak memasukkan profesi advokat dalam pengecualian SIKM.
Ketua Umum PERADI Rumah Bersama Advokat (RBA) Luhut Pangaribuan juga mengkritisi aturan ini. Menurutnya advokat merupakan satu kesatuan penegak hukum, sehingga aturan yang tidak memasukkan advokat sebagai pengecualian untuk tidak memiliki SIKM keliru karena mereka juga masih bersidang demi penegakan hukum. “Wah itu keliru. Karena penegak hukum itu satu kesatuan dalam sistem. Kalau nggak boleh malah timpang, nggak jalan. Sidang pidana dan perdata juga jalan kan sekarang. Jadi itu bentuk ketidaktahuan pembuat aturan, harus diperbaiki,” terangnya.
Sumber : Hukumonline
Foto : CNN