Opini

Advokat Bukan Penegak Hukum

Oleh : Andi Ibnu Hadi, S.H., M.H (Ketua DPC PERADI Tasikmalaya)

Advokat sebagai salah satu profesi yang sangat dikenal di bidang hukum, juga merupakan profesi yang dipandang sebagai profesi yang sangat terhormat (noble officium). Akan tetapi peran advokat sebagai penegak hukum sejatinya kurang dipandang oleh masyarakat apabila dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lain seperti Polisi, Jaksa maupun Hakim. Padahal sesungguhnya tidak demikian, peran advokat sebagai penegak hukum juga sebenarnya berperan penting dalam penegakan hukum.

Dominasi penegak hukum polisi, jaksa dan hakim dalam peradilan pidana menjadikan adanya fenomena kesewenang-wenangan, arogansi yang kerap dilakukan oleh para penguasa dan penegak hukum. jika berbicara mengenai advokat selalu ada semacam ambevalensi terhadap profesi tersebut. Disatu pihak advokat dianggap sebagai profesi yang senang mempermainkan hukum dan bikin perkara. Disisi lain, siapa lagi yang dapat menolong orang yang sedang berpekara didalam persidangan kalau bukan advokat (Kadafi, Bin Zain (Ed.), 2001). Hal ini lah kemudian yang mau tidak mau membuat kepercayaan masyarakat kepada peran advokat sebagai penegak hukum pudar.

Pada sistem peradilan pidana di dunia, baik itu yang menganut sistem hukum common law dan civil law masih berkutat pada karakteristik secara klasik yang dibedakan menjadi crime control dan due proces model baik kedua model tersebut menggunakan model adversary system atau battle model (Romli Atmasasmita:2011). Dimana dalam prosesnya kedua jenis sistem itu menghadapkan kedua pihak dalam persidangan, yaitu pihak tersangka dan negara diwakili oleh penuntut umum untuk berpekara di sidang pengadilan.

Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem tidak berdiri sendiri, didalamnya terdapat komponen-komponen penegak hukum sebagai penggeraknya. Dalam sistem peradilan pidana terdapat beberapa komponen yang saling berkaitan sebagaimana dijelaskan oleh Mardjono yang memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem penanggulangan kejahatan yang terdiri dari lembagalembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana (Romli Atmasasmita:2011). Dilihat dari penjelasan Mardjono, tampak bahwa Mardjono tidak memasukkan advokat sebagai subsistem dalam sistem peradilan pidana. Lain halnya dengan subsistem peradilan pidana yang lain sebagaimana, misal polisi, jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan.

Kedudukan advokat sebagai bagian dari sub-sistem peradilan pidana masih diperdebatkan, hal ini dapat dilihat dalam Rusli Muhammad yang menjelaskan bahwa posisi advokat sebagai bagian atau sub sistem sistem peradilan pidana Indonesia masih diperdebatkan, hal ini disebabkan karena belum adanya kejelasan wadah dan sturktur organisasi yang menyatu dan mengendalikan bekerjanya lembaga advokat itu (Rusli Muhamad:2012). Hal ini juga dijelaskan oleh Frans Hendra Winarta (Komisi Yudisial:2012), yakni bahwa profesi hukum yang dikenal dengan advokat secara teoritis tidak dikenal dan tidak dapat diartikan sebagai penegak hukum. Hal ini jelasnya merujuk kepada instrumen internasional yang terdapat dalam commentary (a) dari pasal 1 United Nations Code of Conduct for Law Enforcement Officials, Adopted by General Assembly Resolution 34/169 of December 1979 yang menyatakan : (a) a term “Law emforcemen officials”, include in officers of the law, appointed or elected, who exercise police powers especially the powers of arrest.

Sebagaimana yang dimaksudkan diatas, dapat diketahui bahwa ciri daripada penegak hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 United Nations Code of Conduct for Law Enforcement Officials, ialah memiliki hak untuk menangkap dan menahan, sedangkan advokat disisi lain justru mencoba membebaskan, meringankan, merubah dan menghindarkan dari semua tuntutan hukum tersebut. Meskipun demikian, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, keberadaan advokat sebagai penegak hukum telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang disingkat menjadi UU Advokat. Dalam pasal 5 ayat (1) UU Advokat, disebutkan bahwa keberadaan Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perudang-undangan.

Berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU Advokat tersebut, dapat diketahui bahwa advokat telah dijamin keberadaanya oleh hukum dan statusnya sebagai penegak hukum. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 5 ayat (1) UU Advokat, dijelaskan bahwa yang dimaksud “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan yang setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dengan adanya pasal 5 ayat 1 UU Advokat, dapat terlihat bahwa sejatinya keberadaan advokat sebagai penegak hukum mempunyai peran penting dalam menegakkan hukum khususnya dalam sistem peradilan pidana.

Namun bila kita melihat secara mendalam ke dalam pasal 5 ayat (1) UU Advokat, tidak dijelaskan secara konkrit mengenai advokat bertatus sebagai penegak hukum. Hal ini diperkuat dengan pendapat dari Bagir Manan bahwa secara normatif, masalah advokat sebagai penegak hukum telah selesai, dengan adanya Undang-undang Advokat yang telah menegaskan bahwa advokat merupakan penegak hukum, akan tetapi yang menjadi persoalan selanjutnya adalah bagaimana bentuk dan tempat nyata advokat sebagai penegak hukum (Bagir Manan:2009).

Keberadaan pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang belum secara konkrit menjelaskan mengenai advokat sebagai penegak hukum menjadi menarik untuk dikaji terlebih atas adanya pendapat-pendapat yang masih meragukan keberadaan advokat sebagai penegak hukum khusunya dalam perannya ia didalam sistem peradilan pidana.

Sumber Bacaan:

  • Kadafi, Bin Zain (Ed.) (Jakarta, 2001.), Advokat Indonesia Mencari Legitimasi : Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia.
  • Romli Atmasasmita (Jakarta, 2011), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer cetakan ke 2
  • Rusli Muhamad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia : Dilengkapi Dengan 4 Undan-undang di Bidang Sistem Peradilan Pidana, UII Press : Yogyakarta, 2012.
  • Komusi Yudisial, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Komisi Yudisial : Jakarta, 2012.
  • Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Asosiasi Advokat Indonesia : Jakarta, 2009.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp Informasi