Kajian

Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata

Apakah wabah penyakit seperti coronavirus disease (Covid-19) dapat dijadikan sebagai force majeur untuk tidak memenuhi perjanjian? Sejumlah praktisi dan akademisi hukum yang diwawancarai menyatakan pihak yang tidak mampu memenuhi kewajiban perjanjian dapat menggunakan penyebaran Covid-19 sebagai alasan kahar atau force majeur. Kuncinya adalah pihak dimaksud mampu memberikan alasan bahwa kegagalan memenuhi perjanjian bukan karena dirinya, melainkan karena sesuatu yang tak dapat diprediksi, dan tak dapat dihindari.

Seorang debitor yang digugat di pengadilan karena melalaikan perjanjian atau kewajiban dapat mengajukan pembelaan adanya force majeur, yaitu keadaan-keadaan yang memaksa debitor tidak dapat menjalankan perjanjian. Menurut Subekti, dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata, maksud pembelaan diri menggunakan alasan force majeur adalah agar ia tidak dipersalahkan atas tidak dipenuhinya perjanjian.

Suatu keadaan dapat disebut keadaan memaksa jika keadaan itu di luar kekuasaan debitor, dan tidak dapat diketahui pada saat perjanjian dibuat. Dalam praktik pengadilan, argumentasi force majeur itu sudah sering digunakan debitor ketika bersengketa dengan kreditor. Putusan-putusan Mahkamah Agung mengenai force majeur penting disampaikan mengingat terjadinya penyebaran wabah corona dalam skala yang luas. Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, malah sudah menetapkannya sebagai pandemik global.

Putusan No. 587PK/Pdt/2010 (banjir)

Penggugat dan Tergugat mempunyai hubungan hukum berupa pembelian batubara. Majelis hakim kasasi telah membatalkan putusan PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta, dan menyatakan bahwa tergugat melakukan wanprestasi. Majelis hakim kasasi menyatakan hujan yang terus menerus bukanlah force majeur. Padahal tergugat tidak memenuhi kewajiban pengiriman batubara karena hujan menyebabkan banjir dan jembatan penghubung ke daerah pengiriman rusak. Alasan itu pula yang dijadikan tergugat asal mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).

Majelis hakim PK (Harifin A Tumpa, Muchsin, dan I Made Tara) menyatakan alasan-alasan yang disampaikan pemohon PK (tergugat) tidak beralasan karena tergugat mengakui keterlambatan pengiriman batubara; hanya sekali mengirim ke Filipina, dan tidak mengirim sama sekali ke Thailand. Adapun tentang argumentasi force majeur akibat banjir, majelis PK berpendapat: “Bahwa alasan ada banjir yang dikategorikan sebagai force majeur tidak dapat dibenarkan karena judex juris telah mempertimbangkan adanya banjir tersebut bukan sebagai force majeur; Bahwa perbedaan persepsi mengenai keadaan banjir termasuk force majeur atau tidak, bukan merupakan alasan untuk permohonan peninjauan kembali”.

Putusan No. 3087K/Pdt/2001 (krisis moneter)

Seorang warga Jakarta Utara telah menggugat satu perusahaan ke pengadilan gara-gara hubungan hukum perjanjian pengikatan jual beli rumah susun. Penggugat sudah membayar lunas kewajibannya, tetapi tergugat tak kunjung menyerahkan satuan rumah susun yang dibeli. Dalam persidangan, tergugat berdalih tidak dapat melanjutkan kewajiban karena terjadi krisis moneter yang melanda Indonesia.

Dalam mengajukan memori kasasi, pemohon kasasi (tergugat asal) mengajukan argumentasi tentang force majeur, sebagaimana terungkap dalam penggalan berikut. “Telah berkali-kali ditegaskan dalam jawaban-jawaban Tergugat/Pemohon Kasasi bahwa krisis moneter adalah merupakan keadaan yang overmacht yang tentunya dapat dikatakan force majeure, karena apapun alasannya, krisis moneter yang terjadi sampai saat ini adalah suatu keadaan yang tidak dapat diduga dan tidak dapat dihindari oleh siapapun setiap warga Negara Indonesia. Krisis Moneter seharusnya menjadi pertimbangan yang serius dan utama oleh Hakim Tingkat Pertama dan apabila tidak betul-betul dihayati mengenai pengertian keadaan ini, maka akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak yang terlanjur dikalahkan dalam suatu perkara, padahal krisis moneter bukan saja memporak-porandakan perekonomian tetapi telah dirasakan imbasnya oleh seluruh pengusaha di negara yang kita cintai ini”. Ini memori kasasi nomor 2 yang diajukan tergugat.

Bagaimana pendapat majelis hakim kasasi (Abdul Kadir Mappong, Soedarno, dan Artidjo Alkostar?) Menurut majelis, alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan karena putusan Pengadilan Tinggi/judex facti sudah tepat, yaitu tidak dalah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Di Pengadilan Tinggi, majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, dan menghukum tergugat untuk mengembalikan uang pembayaran sarusun, dan menghukum tergugat membayar ganti rugi kepada penggugat.

Putusan No. 2914K/Pdt/2001 (kerusuhan sosial 14 Mei 1998)

Diwakili pengacara Mohamad Assegaf, suatu perusahaan pengadaan kertas mengajukan gugatan terhadap bank pelat merah dan perusahaan asuransi. Ia mengklaim seharusnya pihak asuransi membayar asuransi barang-barangnya yang terbakar akibat kerusuhan sosial pada 14 Mei 1998. Perusahaan yang bergerak dalam pengelolaan kertas itu juga punya perjanjian kredit dengan bank. Pada 14 Mei 1998, barang-barang yang menjadi jaminan kredit terbakar akibat kerusuhan. Pihak asuransi menolak membayar klaim asuransi karena kebakaran tak termasuk yang dijamin. Akhirnya, perusahaan pengelolaan kertas menggugat perusahaan asuransi dan bank ke pengadilan. Gugatan penggugat ditolak di tingkat pertama, dan diperkuat di tingkat banding.

Pihak bank ikut mengajukan kasasi karena khawatir alasan force majeur kerusuhan dijadikan alasan untuk tidak membayar kredit. Pihak bank mengingatkan bahwa kebakaran stok barang dagangan akibat kerusuhan hanyalah keadaan memaksa yang bersifat relatif/tidak mutlak. Lagipula kejadian itu tidak termasuk alasan-alasan berakhirnya perjanjian sebagaimana disebut dalam pasal 1381 KUH Perdata.

Memori kasasi bank akhirnya diterima. Majelis kasasi (Bagir Manan, Andar Purba, Kaimuddin Salle) menyatakan perusahaan pengelola kertas telah melakukan wanprestasi. Berkaitan dengan keadaan memaksa, majelis kasasi mempertimbangkan: “Bahwa Termohon Kasasi/Penggugat tidak melunasi hutang (kreditnya) karena keadaan terpaksa (overmacht) tidak dapat dibenarkan. Terbakarnya stock barang dagangan Penggugat tidak terkait dengan perjanjian kredit dan karenanya tidak menghapus atau mengurangi kewajiban Penggugat seperti diatur dalam perjanjian kredit. Penerima kredit tetap terkait dengan perjanjian kredit walaupun barang jaminan terbakar, karena menurut hukum seluruh kekayaan Penggugat merupakan jaminan utang”.

Putusan No. 285PK/Pdt/2010 (krisis ekonomi dan keadilan).

Tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan sistem Perkebunan Inti Rakyat-Transmigrasi (PIR-Trans) mengajukan gugatan ke bank pelat merah yang mengucurkan kredit, dan Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Cabang Jakarta. Namun di tengah jalan ketiga perusahaan gagal membayar kredit karena terjadi krisis ekonomi. Akhirnya timbul sengketa. Ketiga perusahaan menjadikan krisis ekonomi global sebagai salah satu alasan tidak memenuhi kewajiban. Kendalanya mulai dari kendala teknis, gangguan keamanan, dan cash flow perusahaan terganggu akibat kriris global.

Ketiga perusahaan akhirnya berhasil di tingkat peninjauan kembali. Majelis PK (M. Saleh, Achmad Yamanie, dan Mahdi Soroinda Nasution) berpendapat majelis kasasi telah melakukan kekeliruan/kekhilafan yang nyata dengan tidak mempertimbangkan bahwa utang piutang itu terjadi karena kondisi krisis ekonomi global yang ikut melanda Indonesia. Seharusnya, atas nama keadilan, majelis mempertimbangkan itu untuk memberi perlindungan hukum terhadap para penggugat. Majelis PK percaya jika argumentasi tentang krisis ekonomi itu dipertimbangkan, maka keadaannya mungkin bisa berbeda.

Berkembang

Selain yurisprudensi yang disebutkan di atas, masih banyak putusan pengadilan yang menggambarkan dinamika force majeur dalam praktik pengadilan. Beberapa di antaranya dapat dibaca dalam buku ‘Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa (Syarat-Syarat Pembatalan Perjanjian yang Disebabkan Keadaan Memaksa/Force Majeur), yang ditulis Rahmat S.S Soemadipradja (2010).

Dari contoh-contoh putusan yang diberikan, dapat ditarik benang merah bahwa force majeur tidak lagi sebatas peristiwa alam (act of God) dan hilangnya objek yang diperjanjikan, melainkan sudah meluas pada tindakan administratif penguasa, yakni terbitnya kebijakan pemerintah. Dari sinilah muncul pertanyaan kontekstual, apakah kebijakan Pemerintah untuk mengatasi penyebaran virus corona (Covid-19) dapat dijadikan alasan force majeur?

Beberapa putusan yang disebut adalah: Putusan MA No. 15K/Sip/1957 (risiko perang, kehilangan benda objek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan seperti disambar petir, kebakaran, atau dirampas tentara Jepang); putusan MA No. 3389K/Pdt/1984 (tindakan administratif penguasa, perintah dari yang berkuasa, keputusan, segala tindakan administratif yang mengikat, suatu peristiwa mendadak yang tidak dapat diatasi para pihak yang berjanji); putusan MA No. 409K/Sip/1983 (kecelakaan di laut semisal kapal tenggelam karena ombak besar).

Yurisprudensi Klasik

Jika ditelusuri lebih lama, ada beberapa yurisprudensi yang penting diperhatikan. Pertama, putusan mengenai apakah ombak dan angina kencang yang menyebabkan air laut masuk ke dalam perahu dan membasahi gula muatan perahu dapat dijadikan force majeur. Putusan Hogerrechtshof Batavia 17 September 1925 menyebutkan bahwa perahu akan selalu menghadapi ombak dan angin di laut, sehingga ‘angin dan ombak besar’ tidak pernah dapat dianggap sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diduga. Apalagi, pengangkutan dilakukan pada musim Timur, pada saat mana angina muson sering melanda. Orang baru dapat saja mengemukakan adanya keadaan memaksa, kalau dibuktikan, bahwa ada angina dan ombak yang sedemikian luar biasa kuatnya, sehingga tidak patut untuk menuntut (redelijkerwijze niet geeist kon worden), bahwa perahu pihak Pembanding harus kuat menghadapinya.

Ada juga kisah tentang asuransi yang dimuat J. Satrio dalam bukunya Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya (1999:271-272). Seorang warga menggugat perusahaan asuransi dan meminta perusahaan asuransi membayar santunan bulanan sesuai perjanjian asuransi jiwa suaminya yang meninggal dalam perang (Perang Dunia II). Perusahaan asuransi berdalih pertanggungan sudah dihapus karena penggugat tidak membayar premi. Penggugat berdalih tidak dapat membayar premi karena suasana perang. Dengan kata lain, ia menjadikan suasana perang sebagai keadaan memaksa.

Satrio memberikan komentar atas kasus ini, jika jumlah pembayaran santunan oleh perusahaan asuransi kepada tertanggung yang meninggal saat perang jauh melampaui the law of the average, maka perusahaan asuransi dapat menjadikannya sebagai keadaan memaksa untuk membebaskan diri dari perikatan.

Ada lagi kasus yang pernah diputus Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta (1955) tentang perselisihan antara pemesan sepeda motor merek AJS dengan perusahaan. Perusahaan berjanji akan mendatangkan sepeda motor yang dipesan dalam waktu empat bulan. Lantaran hingga batas waktu yang diperjanjikan perusahaan tak menjalankan kewajibannya, pemesan mengajukan gugatan ke pengadilan. Ia meminta pengadilan memerintahkan perusahaan menyediakan sepeda motor yang dipesan disertai uang paksa. Perusahaan menggunakan keadaan memaksa atau overmacht sebagai dasar menghindari kewajiban. Keadaan memaksanya adalah importer –tempat perusahaan memesan motor—tidak mendapatkan izin dari pemerintah untuk mengimpor motor dimaksud. Saat itu juga keluar aturan baru bahwa satu perusahaan hanya boleh mengimpor satu merek kendaraan. Izin impor motor AJS jatuh ke perusahaan lain.

Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta menolak alasan force majeur tersebut. Hakim menyatakan perusahaan tetap dapat mengusahakan sepeda motor dimaksud dari perusahaan lain tanpa harus melanggar undang-undang. “Apa yang dikemukakan oleh Tergugat tidak dapat dipergunakan sebagai force majeur,” demikian antara lain isi pertimbangan hakim. Dengan kata lain, jika masih ada opsi lain untuk memenuhi kewajiban, maka alasan force majeur tidak dapat diterima.

Sumber : Hukumonline

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp Informasi