Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi?

Perkenankan Admin untuk bertanya dengan kronologi berikut ini;
Ada seorang perempuan yang selalu mengalami kekerasan oleh suaminya, namun tidak mau mengaku telah mengalami penyiksaan atau melaporkan ke polisi sebagai korban KDRT. Padahal, secara kasat mata terlihat adanya bekas-bekas penyiksaan tersebut.
Pertanyaan
Apakah yang dapat dilakukan saksi mata untuk membantu agar penyiksaan tersebut tidak berlanjut?
Jawaban
Mengenai kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”) dapat ditemui pengaturannya dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU KDRT”). Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (lihat Pasal 1 ayat [1] UU KDRT).
Kekerasan fisik merupakan salah satu bentuk dari KDRT sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huuf a UU KDRT. Dalam kasus di atas, kerabat Anda tidak mau mengakui dirinya mengalami KDRT oleh suaminya dan menolak melapor ke polisi. Dalam hal ini, kita perlu melihat ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU KDRT yang pada intinya menyatakan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).
Meski demikian, saksi mata masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan diatas, yang dapat dilakukan sebagai saksi mata adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. Permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya.
Demikian jawaban yang telah disampaikan, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Referensi :
www.hukumonline.com





Informasi