Keluarga Koruptor Dipidana Atau Tidak Jika Menggunakan Harta Hasil Korupsi?

Perkenankan Admin untuk bertanya dengan kronologi berikut ini;
Anak dan istri koruptor telah mempergunakan hasil korupsi dalam kehidupannya sehari-hari (anak dan istri tidak mengetahui bahwa harta tersebut hasil dari korupsi)
Pertanyaan
Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap hal tersebut?
Jawaban
Sebelumnya, perlu disampaikan bahwa korupsi adalah salah satu dari beberapa tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana asal (predicate crime) dari Tindak Pidana Pencucian Uang (“TPPU”) sebagai Tindak Pidana Lanjutan (follow up crime). TPPU sendiri adalah bentuk modern dari Tindak Pidana Penadahan (vide: Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP).
Secara konvensional, unsur yang terpenting dari suatu Tindak Pidana Penadahan adalah seseorang harus mengetahui atau menyangka (menduga) bahwa suatu barang yang diberikan kepadanya berasal dari kejahatan (contoh: dari pencurian/penggelapan). Hal yang sama juga berlaku dalam TPPU sebagai bentuk modern dari Tindak Pidana Penadahan, yaitu dalam hal adanya frasa “(uang) yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak Pidana.”. Misalnya, dalam hal adanya suatu transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU PPTPPU”).
Menjawab pertanyaan tersebut, dalam hal adanya dugaan bahwa istri dan anak koruptor sebagai pelaku TPPU pasif menggunakan uang hasil korupsi. Dalam hal ini, istri dan anak koruptor itu tidak mengetahui bahwa uang tersebut adalah hasil korupsi dari suami/ayahnya sebagai pelaku TPPU aktif, maka hal tersebut sudah termasuk dalam ranah pembuktian dari suatu dugaan TPPU. Hal ini tidak bisa dijawab secara mutlak (absolute), mengingat dalam pertanyaan tadi tidak diuraikan fakta-fakta yang lebih detail mengenai dugaan TPPU tersebut.
Untuk itu, sebagai referensi hukum untuk memahami dan menjawab pertanyaan tersebut, dengan mengutip Pasal 5 UU PPTPPU dan penjelasannya sebagai berikut:
“(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Penjelasan ayat (1)
“Yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya Transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.”
“(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Jadi, dalam menganalisis ada atau tidak adanya suatu TPPU yang dilakukan oleh istri dan anak koruptor sebagai tindak pidana lanjutan dari Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh suami/ayahnya, saya berpendapat bahwa ada 2 (dua) tolak ukur yang dapat digunakan, yaitu:
- Apakah istri dan anak koruptor tersebut memiliki dugaan bahwa uang yang diberikan oleh suami/ayahnya adalah uang hasil kejahatan (korupsi)? Sekali lagi, hal ini adalah soal pembuktian, hal mana jika dibuktikan bahwa penghasilan/gaji (halal) dari suami/ayahnya ternyata jauh lebih kecil dari apa yang diterima oleh istri dan anak koruptor tersebut, maka secara hukum istri dan anak koruptor harus memiliki dugaan atau sangkaan bahwa uang yang diberikan suami/ayahnya tersebut adalah uang hasil kejahatan (korupsi).
Jika memang tidak ada perbedaan yang signifikan antara penghasilan suami/ayahnya dengan apa yang diterima oleh istri dan anak koruptor tersebut, maka kesalahan (schuld) dalam pasal TPPU tersebut, khususnya unsur “patut diduganya” menjadi hilang (geen straf zonder schuld);
- Sebaliknya, dalam hal istri dan anak koruptor tersebut memiliki dugaan bahwa uang yang diberikan oleh suami/ayahnya adalah uang hasil kejahatan (korupsi), dan selanjutnya melakukan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UU PPTPPU tersebut, maka pelaporan tersebut menjadi alasan penghapus pidana (strafluitinggronden) dari TPPU tersebut.
Demikian jawaban yang telah disampaikan, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Referensi :
www.hukumonline.com