Seberapa Kuat Pembuktian Sidik Jari?
Perkenankan Admin untuk bertanya dengan kronologi berikut ini;
Seseorang melakukan tindak kejahatan dan kabur entah kemana. Kemudian ditemukan barang yang diduga digunakan pelaku saat beraksi. Terdapat sidik jari dibenda tersebut.
Pertanyaan
- Bagaimanakah kekuatan pembuktian sidik jari di Indonesia?
- Apakah sidik jari dapat mengikat hakim (hal yang dapat mempengaruhi hakim) dalam menjatuhkan putusan (vonis)?
Jawaban
Menjawab pertanyaan tersebut, perlu untuk merujuk pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka alat bukti dalam perkara pidana umum adalah terdiri dari:
Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan terdakwa
Hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu untuk dibuktikan lagi (fakta notoir)
Jika dikaitkan dengan pertanyaan tersebut, sidik jari dari pelaku suatu tindak pidana tidak secara langsung dapat dikualifisir sebagai salah satu alat bukti dalam suatu perkara pidana, melainkan harus dikonversi dalam jenis-jenis alat bukti tertentu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP Tersebut.
Dalam hal ini, wujud konkret dari keterangan atas suatu sidik jari dalam suatu perkara pidana dapat berbentuk surat keterangan yang dibuat oleh seorang ahli (Pasal 187 huruf c KUHAP) yang dapat dikualifisir sebagai alat bukti surat. Selain itu apabila diperlukan, baik dalam proses penyidikan di kepolisian maupun proses pemeriksaan perkara di pengadilan, seorang ahli Daktiloskopi dapat dipanggil guna didengar keterangannya untuk menjelaskan mengenai keterkaitan adanya sidik jari seseorang dalam suatu peristiwa pidana (Vide: Pasal 186 KUHAP jo.Pasal 1 ayat 24 KUHAP).
Mengenai pertanyaan mengenai apakah suatu sidik jari dapat mengikat atau mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan, maka kita perlu kembali memperhatikan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Pasal 183 KUHAP diatas telah menjadi dasar hukum dari ketentuan minimal pembuktian yaitu terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim bahwa terdakwa benar-benar bersalah. Pembentukan pasal ini didasarkan pada adagium yang terkenal dalam hukum pidana yaitu in dubio pro reoatau beyond a reasonable doubt, yang berarti ditengah-tengah keraguan, hakim harus melepaskan seorang terdakwa.
Lalu yang menjadi pertanyaan penting untuk direnungkan bersama terkait dengan permasalahan sidik jari tersebut diatas adalah bagaimana jika tidak ada saksi dalam suatu peristiwa pidana tersebut dan apabila terdakwa dalam keterangannya menyangkal telah melakukan perbuatan pidana yang didakwakan tersebut.
Demikian jawaban yang telah disampaikan, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Referensi :
www.hukumonline.com